Cerpen

Cerpen

9th Grade

10 Qs

quiz-placeholder

Similar activities

Kuis Harian - Menjelajah Puisi

Kuis Harian - Menjelajah Puisi

8th Grade - University

10 Qs

Laporan Observasi

Laporan Observasi

9th - 12th Grade

10 Qs

Y9 T3 Lingkungan Makin Lama

Y9 T3 Lingkungan Makin Lama

9th - 12th Grade

10 Qs

KESALAHAN EJAAN

KESALAHAN EJAAN

7th Grade - University

10 Qs

Jenis-Jenis Paragraf

Jenis-Jenis Paragraf

5th - 9th Grade

15 Qs

French Halloween NHMS

French Halloween NHMS

6th - 12th Grade

15 Qs

Nama-Nama Tempat Dalam Bahasa Arab (3)

Nama-Nama Tempat Dalam Bahasa Arab (3)

KG - Professional Development

10 Qs

TEKS DESKRIPSI KELAS 7 MENYALA

TEKS DESKRIPSI KELAS 7 MENYALA

9th - 12th Grade

10 Qs

Cerpen

Cerpen

Assessment

Quiz

World Languages

9th Grade

Easy

Created by

Fauzan Fauzan

Used 3+ times

FREE Resource

10 questions

Show all answers

1.

MULTIPLE CHOICE QUESTION

5 mins • 1 pt

Hutan Merah

Matahari bersinar terik di Lampung. Sinarnya terhalang rimbunnya pepohonan, sehingga hanya menyisakan berkas tipis. Burung-burung berkicau seolah sedang menyanyikan lagu untuk alam. Bunyi riak jernih sungai beradu dengan batu kali berpadu dengan sahutan dari beberapa penghuni hutan yang lainnya. Ya, inilah tempat tinggal Bora, si anak gajah Lampung yang sekarang tengah asyik bermain bersama teman-temannya di sebuah sungai.

       Ketika Bora menyemprotkan air ke arah Dodo—anak gajah lainnya—dengan belalainya, ia pun memekik nyaring. Sampai akhirnya, kegembiraan mereka terpecah oleh bunyi bising dari sebelah utara hutan. Bunyi bising itu bercampur dengan deru sesuatu yang sama sekali tidak Bora kenal.

       “Hei, lihat itu!”

       Semua serentak menghentikan kegiatan mereka dan menengok ke langit yang ditunjuk Dodo. Asap hitam tebal yang membumbung tinggi dari sana. Asap itu semakin tebal dan terus menebal. Itu merupakan fenomena aneh yang baru pertama kali mereka saksikan. Selama ini yang mereka tahu, langit selalu berwarna biru cerah dengan awan putih berarakan.

Keheningan hutan itu kemudian pecah saat Teo tiba-tiba saja datang sambil memekik nyaring, “Hutan terbakar! Hutan terbakar!”

       Semua ikut memekik ketakutan. Hutan terbakar! Tempat tinggal mereka terbakar!

       “Bora! Apa yang kau lakukan!? Cepat pergi!” Pipin berteriak sambil menarik belalai Bora dengan belalainya..

       Suasana hutan yang tadinya damai tenteram, seketika menjadi neraka bagi semua hewan. Asap hitam pekat yang mulai menyelimuti seluruh hutan ini. Suhu udara mulai panas, membuat para hewan makin berteriak nyaring.

       Bora panik bukan main. Sambil mengikuti langkah Pipin, matanya bergerak ke sana-ke mari, mencari sosok ibunya.

       “Pipin! Di mana ibuku?” tanya Bora.

       “I-ibu … ibumu ….” Pipin tidak bisa menjawab karena sama-sama tidak tahu di mana ibu Bora berada.

       “Aku harus kembali ke sarang!” Bora melepaskan belalainya dari belalai Pipin, lalu berbalik untuk kembali ke sarangnya.

       Namun, sebelum Bora melancarkan niatnya itu, Pipin sudah menarik kembali belalainya. “Ibumu pasti sudah berada di depan. Bersama gajah dewasa lainnya.”

       Bora menghiraukan ucapan Pipin, lalu kembali meloloskan belalainya dan berlari sekuat mungkin menuju sarangnya.

       “Bora!” Pipin berteriak di belakangnya.

       Bora sampai di dekat sarangnya berada dengan napas terengah. Ia langsung membelalakkan mata begitu melihat sosok ibunya sedang bersusah payah keluar dari sarang. Api sudah menjalar di setiap pohon di dekat sarangnya itu.

       “Ibu!” teriak Bora sekuat tenaga.

       “Sedang apa kamu?! Cepat pergi dari sini!” teriak ibu Bora sambil menggerakkan belalainya, menyuruh Bora menjauh dari tempat ini.

       “Tidak! Aku tidak mau!” balas Bora keras kepala. Kenapa ibunya masih bisa berkata seperti itu? Padahal jelas-jelas ia dalam keadaan terjebak api?

       “Cepat pergi, Bora!”

       “Bora! Ayo pergi!” Tiba-tiba saja Pipin datang ke tempatnya dan langsung menarik belalai Bora.

       “Tidak mau!” Bora menyentak belalai Pipin keras. “Ibu! Aku akan menyelamatkanmu!”

       “Jangan, Bora!” bentak Pipin

       Kraaak! Braaak!

       “IBU!! IBU!!” Bora terus meraung memanggil ibunya. Pohon yang sedang terbakar itu jatuh dan kemudian menimpa tubuh payah ibu Bora.

       “Ayo, Bora, kita harus pergi,” lirih Pipin sambil menarik Bora.

Sekali lagi Bora menoleh ke belakang saat dirinya sudah cukup jauh dari sarangnya. Tidak ada lagi hutan hijau dengan tumbuhan rindang di sekitarnya. Hutan hijau yang selalu ia kagumi sudah berubah menjadi hutan merah yang sangat panas.

Tema yang terkandung dalam cerpen tersebut adalah?

Kerusakan lingkungan

Kebersihan

Romansa

Persahabatan

2.

MULTIPLE CHOICE QUESTION

5 mins • 1 pt

Hutan Merah

Matahari bersinar terik di Lampung. Sinarnya terhalang rimbunnya pepohonan, sehingga hanya menyisakan berkas tipis. Burung-burung berkicau seolah sedang menyanyikan lagu untuk alam. Bunyi riak jernih sungai beradu dengan batu kali berpadu dengan sahutan dari beberapa penghuni hutan yang lainnya. Ya, inilah tempat tinggal Bora, si anak gajah Lampung yang sekarang tengah asyik bermain bersama teman-temannya di sebuah sungai.

       Ketika Bora menyemprotkan air ke arah Dodo—anak gajah lainnya—dengan belalainya, ia pun memekik nyaring. Sampai akhirnya, kegembiraan mereka terpecah oleh bunyi bising dari sebelah utara hutan. Bunyi bising itu bercampur dengan deru sesuatu yang sama sekali tidak Bora kenal.

       “Hei, lihat itu!”

       Semua serentak menghentikan kegiatan mereka dan menengok ke langit yang ditunjuk Dodo. Asap hitam tebal yang membumbung tinggi dari sana. Asap itu semakin tebal dan terus menebal. Itu merupakan fenomena aneh yang baru pertama kali mereka saksikan. Selama ini yang mereka tahu, langit selalu berwarna biru cerah dengan awan putih berarakan.

Keheningan hutan itu kemudian pecah saat Teo tiba-tiba saja datang sambil memekik nyaring, “Hutan terbakar! Hutan terbakar!”

       Semua ikut memekik ketakutan. Hutan terbakar! Tempat tinggal mereka terbakar!

       “Bora! Apa yang kau lakukan!? Cepat pergi!” Pipin berteriak sambil menarik belalai Bora dengan belalainya..

       Suasana hutan yang tadinya damai tenteram, seketika menjadi neraka bagi semua hewan. Asap hitam pekat yang mulai menyelimuti seluruh hutan ini. Suhu udara mulai panas, membuat para hewan makin berteriak nyaring.

       Bora panik bukan main. Sambil mengikuti langkah Pipin, matanya bergerak ke sana-ke mari, mencari sosok ibunya.

       “Pipin! Di mana ibuku?” tanya Bora.

       “I-ibu … ibumu ….” Pipin tidak bisa menjawab karena sama-sama tidak tahu di mana ibu Bora berada.

       “Aku harus kembali ke sarang!” Bora melepaskan belalainya dari belalai Pipin, lalu berbalik untuk kembali ke sarangnya.

       Namun, sebelum Bora melancarkan niatnya itu, Pipin sudah menarik kembali belalainya. “Ibumu pasti sudah berada di depan. Bersama gajah dewasa lainnya.”

       Bora menghiraukan ucapan Pipin, lalu kembali meloloskan belalainya dan berlari sekuat mungkin menuju sarangnya.

       “Bora!” Pipin berteriak di belakangnya.

       Bora sampai di dekat sarangnya berada dengan napas terengah. Ia langsung membelalakkan mata begitu melihat sosok ibunya sedang bersusah payah keluar dari sarang. Api sudah menjalar di setiap pohon di dekat sarangnya itu.

       “Ibu!” teriak Bora sekuat tenaga.

       “Sedang apa kamu?! Cepat pergi dari sini!” teriak ibu Bora sambil menggerakkan belalainya, menyuruh Bora menjauh dari tempat ini.

       “Tidak! Aku tidak mau!” balas Bora keras kepala. Kenapa ibunya masih bisa berkata seperti itu? Padahal jelas-jelas ia dalam keadaan terjebak api?

       “Cepat pergi, Bora!”

       “Bora! Ayo pergi!” Tiba-tiba saja Pipin datang ke tempatnya dan langsung menarik belalai Bora.

       “Tidak mau!” Bora menyentak belalai Pipin keras. “Ibu! Aku akan menyelamatkanmu!”

       “Jangan, Bora!” bentak Pipin

       Kraaak! Braaak!

       “IBU!! IBU!!” Bora terus meraung memanggil ibunya. Pohon yang sedang terbakar itu jatuh dan kemudian menimpa tubuh payah ibu Bora.

       “Ayo, Bora, kita harus pergi,” lirih Pipin sambil menarik Bora.

Sekali lagi Bora menoleh ke belakang saat dirinya sudah cukup jauh dari sarangnya. Tidak ada lagi hutan hijau dengan tumbuhan rindang di sekitarnya. Hutan hijau yang selalu ia kagumi sudah berubah menjadi hutan merah yang sangat panas.

Watak tokoh utama dalam cerpen tersebut adalah?

Keras kepala

Sombong

Baik hati

Penakut

3.

MULTIPLE CHOICE QUESTION

5 mins • 1 pt

Hutan Merah

Matahari bersinar terik di Lampung. Sinarnya terhalang rimbunnya pepohonan, sehingga hanya menyisakan berkas tipis. Burung-burung berkicau seolah sedang menyanyikan lagu untuk alam. Bunyi riak jernih sungai beradu dengan batu kali berpadu dengan sahutan dari beberapa penghuni hutan yang lainnya. Ya, inilah tempat tinggal Bora, si anak gajah Lampung yang sekarang tengah asyik bermain bersama teman-temannya di sebuah sungai.

       Ketika Bora menyemprotkan air ke arah Dodo—anak gajah lainnya—dengan belalainya, ia pun memekik nyaring. Sampai akhirnya, kegembiraan mereka terpecah oleh bunyi bising dari sebelah utara hutan. Bunyi bising itu bercampur dengan deru sesuatu yang sama sekali tidak Bora kenal.

       “Hei, lihat itu!”

       Semua serentak menghentikan kegiatan mereka dan menengok ke langit yang ditunjuk Dodo. Asap hitam tebal yang membumbung tinggi dari sana. Asap itu semakin tebal dan terus menebal. Itu merupakan fenomena aneh yang baru pertama kali mereka saksikan. Selama ini yang mereka tahu, langit selalu berwarna biru cerah dengan awan putih berarakan.

Keheningan hutan itu kemudian pecah saat Teo tiba-tiba saja datang sambil memekik nyaring, “Hutan terbakar! Hutan terbakar!”

       Semua ikut memekik ketakutan. Hutan terbakar! Tempat tinggal mereka terbakar!

       “Bora! Apa yang kau lakukan!? Cepat pergi!” Pipin berteriak sambil menarik belalai Bora dengan belalainya..

       Suasana hutan yang tadinya damai tenteram, seketika menjadi neraka bagi semua hewan. Asap hitam pekat yang mulai menyelimuti seluruh hutan ini. Suhu udara mulai panas, membuat para hewan makin berteriak nyaring.

       Bora panik bukan main. Sambil mengikuti langkah Pipin, matanya bergerak ke sana-ke mari, mencari sosok ibunya.

       “Pipin! Di mana ibuku?” tanya Bora.

       “I-ibu … ibumu ….” Pipin tidak bisa menjawab karena sama-sama tidak tahu di mana ibu Bora berada.

       “Aku harus kembali ke sarang!” Bora melepaskan belalainya dari belalai Pipin, lalu berbalik untuk kembali ke sarangnya.

       Namun, sebelum Bora melancarkan niatnya itu, Pipin sudah menarik kembali belalainya. “Ibumu pasti sudah berada di depan. Bersama gajah dewasa lainnya.”

       Bora menghiraukan ucapan Pipin, lalu kembali meloloskan belalainya dan berlari sekuat mungkin menuju sarangnya.

       “Bora!” Pipin berteriak di belakangnya.

       Bora sampai di dekat sarangnya berada dengan napas terengah. Ia langsung membelalakkan mata begitu melihat sosok ibunya sedang bersusah payah keluar dari sarang. Api sudah menjalar di setiap pohon di dekat sarangnya itu.

       “Ibu!” teriak Bora sekuat tenaga.

       “Sedang apa kamu?! Cepat pergi dari sini!” teriak ibu Bora sambil menggerakkan belalainya, menyuruh Bora menjauh dari tempat ini.

       “Tidak! Aku tidak mau!” balas Bora keras kepala. Kenapa ibunya masih bisa berkata seperti itu? Padahal jelas-jelas ia dalam keadaan terjebak api?

       “Cepat pergi, Bora!”

       “Bora! Ayo pergi!” Tiba-tiba saja Pipin datang ke tempatnya dan langsung menarik belalai Bora.

       “Tidak mau!” Bora menyentak belalai Pipin keras. “Ibu! Aku akan menyelamatkanmu!”

       “Jangan, Bora!” bentak Pipin

       Kraaak! Braaak!

       “IBU!! IBU!!” Bora terus meraung memanggil ibunya. Pohon yang sedang terbakar itu jatuh dan kemudian menimpa tubuh payah ibu Bora.

       “Ayo, Bora, kita harus pergi,” lirih Pipin sambil menarik Bora.

Sekali lagi Bora menoleh ke belakang saat dirinya sudah cukup jauh dari sarangnya. Tidak ada lagi hutan hijau dengan tumbuhan rindang di sekitarnya. Hutan hijau yang selalu ia kagumi sudah berubah menjadi hutan merah yang sangat panas.

Penokohan yang digunakan oleh pengarang dalam cerpen tersebut adalah?

Melalui dialog tokoh

Melalui jalan pikiran tokoh

Melalui pernyataan tokoh lain

Melalui penggambaran pengarang

4.

MULTIPLE CHOICE QUESTION

5 mins • 1 pt

Hutan Merah

Matahari bersinar terik di Lampung. Sinarnya terhalang rimbunnya pepohonan, sehingga hanya menyisakan berkas tipis. Burung-burung berkicau seolah sedang menyanyikan lagu untuk alam. Bunyi riak jernih sungai beradu dengan batu kali berpadu dengan sahutan dari beberapa penghuni hutan yang lainnya. Ya, inilah tempat tinggal Bora, si anak gajah Lampung yang sekarang tengah asyik bermain bersama teman-temannya di sebuah sungai.

       Ketika Bora menyemprotkan air ke arah Dodo—anak gajah lainnya—dengan belalainya, ia pun memekik nyaring. Sampai akhirnya, kegembiraan mereka terpecah oleh bunyi bising dari sebelah utara hutan. Bunyi bising itu bercampur dengan deru sesuatu yang sama sekali tidak Bora kenal.

       “Hei, lihat itu!”

       Semua serentak menghentikan kegiatan mereka dan menengok ke langit yang ditunjuk Dodo. Asap hitam tebal yang membumbung tinggi dari sana. Asap itu semakin tebal dan terus menebal. Itu merupakan fenomena aneh yang baru pertama kali mereka saksikan. Selama ini yang mereka tahu, langit selalu berwarna biru cerah dengan awan putih berarakan.

Keheningan hutan itu kemudian pecah saat Teo tiba-tiba saja datang sambil memekik nyaring, “Hutan terbakar! Hutan terbakar!”

       Semua ikut memekik ketakutan. Hutan terbakar! Tempat tinggal mereka terbakar!

       “Bora! Apa yang kau lakukan!? Cepat pergi!” Pipin berteriak sambil menarik belalai Bora dengan belalainya..

       Suasana hutan yang tadinya damai tenteram, seketika menjadi neraka bagi semua hewan. Asap hitam pekat yang mulai menyelimuti seluruh hutan ini. Suhu udara mulai panas, membuat para hewan makin berteriak nyaring.

       Bora panik bukan main. Sambil mengikuti langkah Pipin, matanya bergerak ke sana-ke mari, mencari sosok ibunya.

       “Pipin! Di mana ibuku?” tanya Bora.

       “I-ibu … ibumu ….” Pipin tidak bisa menjawab karena sama-sama tidak tahu di mana ibu Bora berada.

       “Aku harus kembali ke sarang!” Bora melepaskan belalainya dari belalai Pipin, lalu berbalik untuk kembali ke sarangnya.

       Namun, sebelum Bora melancarkan niatnya itu, Pipin sudah menarik kembali belalainya. “Ibumu pasti sudah berada di depan. Bersama gajah dewasa lainnya.”

       Bora menghiraukan ucapan Pipin, lalu kembali meloloskan belalainya dan berlari sekuat mungkin menuju sarangnya.

       “Bora!” Pipin berteriak di belakangnya.

       Bora sampai di dekat sarangnya berada dengan napas terengah. Ia langsung membelalakkan mata begitu melihat sosok ibunya sedang bersusah payah keluar dari sarang. Api sudah menjalar di setiap pohon di dekat sarangnya itu.

       “Ibu!” teriak Bora sekuat tenaga.

       “Sedang apa kamu?! Cepat pergi dari sini!” teriak ibu Bora sambil menggerakkan belalainya, menyuruh Bora menjauh dari tempat ini.

       “Tidak! Aku tidak mau!” balas Bora keras kepala. Kenapa ibunya masih bisa berkata seperti itu? Padahal jelas-jelas ia dalam keadaan terjebak api?

       “Cepat pergi, Bora!”

       “Bora! Ayo pergi!” Tiba-tiba saja Pipin datang ke tempatnya dan langsung menarik belalai Bora.

       “Tidak mau!” Bora menyentak belalai Pipin keras. “Ibu! Aku akan menyelamatkanmu!”

       “Jangan, Bora!” bentak Pipin

       Kraaak! Braaak!

       “IBU!! IBU!!” Bora terus meraung memanggil ibunya. Pohon yang sedang terbakar itu jatuh dan kemudian menimpa tubuh payah ibu Bora.

       “Ayo, Bora, kita harus pergi,” lirih Pipin sambil menarik Bora.

Sekali lagi Bora menoleh ke belakang saat dirinya sudah cukup jauh dari sarangnya. Tidak ada lagi hutan hijau dengan tumbuhan rindang di sekitarnya. Hutan hijau yang selalu ia kagumi sudah berubah menjadi hutan merah yang sangat panas.

Alur yang terdapat dalam cerpen tersebut adalah?

Alur maju

Alur mundur

Alur campuran

Alur flashback

5.

MULTIPLE CHOICE QUESTION

5 mins • 1 pt

Hutan Merah

Matahari bersinar terik di Lampung. Sinarnya terhalang rimbunnya pepohonan, sehingga hanya menyisakan berkas tipis. Burung-burung berkicau seolah sedang menyanyikan lagu untuk alam. Bunyi riak jernih sungai beradu dengan batu kali berpadu dengan sahutan dari beberapa penghuni hutan yang lainnya. Ya, inilah tempat tinggal Bora, si anak gajah Lampung yang sekarang tengah asyik bermain bersama teman-temannya di sebuah sungai.

       Ketika Bora menyemprotkan air ke arah Dodo—anak gajah lainnya—dengan belalainya, ia pun memekik nyaring. Sampai akhirnya, kegembiraan mereka terpecah oleh bunyi bising dari sebelah utara hutan. Bunyi bising itu bercampur dengan deru sesuatu yang sama sekali tidak Bora kenal.

       “Hei, lihat itu!”

       Semua serentak menghentikan kegiatan mereka dan menengok ke langit yang ditunjuk Dodo. Asap hitam tebal yang membumbung tinggi dari sana. Asap itu semakin tebal dan terus menebal. Itu merupakan fenomena aneh yang baru pertama kali mereka saksikan. Selama ini yang mereka tahu, langit selalu berwarna biru cerah dengan awan putih berarakan.

Keheningan hutan itu kemudian pecah saat Teo tiba-tiba saja datang sambil memekik nyaring, “Hutan terbakar! Hutan terbakar!”

       Semua ikut memekik ketakutan. Hutan terbakar! Tempat tinggal mereka terbakar!

       “Bora! Apa yang kau lakukan!? Cepat pergi!” Pipin berteriak sambil menarik belalai Bora dengan belalainya..

       Suasana hutan yang tadinya damai tenteram, seketika menjadi neraka bagi semua hewan. Asap hitam pekat yang mulai menyelimuti seluruh hutan ini. Suhu udara mulai panas, membuat para hewan makin berteriak nyaring.

       Bora panik bukan main. Sambil mengikuti langkah Pipin, matanya bergerak ke sana-ke mari, mencari sosok ibunya.

       “Pipin! Di mana ibuku?” tanya Bora.

       “I-ibu … ibumu ….” Pipin tidak bisa menjawab karena sama-sama tidak tahu di mana ibu Bora berada.

       “Aku harus kembali ke sarang!” Bora melepaskan belalainya dari belalai Pipin, lalu berbalik untuk kembali ke sarangnya.

       Namun, sebelum Bora melancarkan niatnya itu, Pipin sudah menarik kembali belalainya. “Ibumu pasti sudah berada di depan. Bersama gajah dewasa lainnya.”

       Bora menghiraukan ucapan Pipin, lalu kembali meloloskan belalainya dan berlari sekuat mungkin menuju sarangnya.

       “Bora!” Pipin berteriak di belakangnya.

       Bora sampai di dekat sarangnya berada dengan napas terengah. Ia langsung membelalakkan mata begitu melihat sosok ibunya sedang bersusah payah keluar dari sarang. Api sudah menjalar di setiap pohon di dekat sarangnya itu.

       “Ibu!” teriak Bora sekuat tenaga.

       “Sedang apa kamu?! Cepat pergi dari sini!” teriak ibu Bora sambil menggerakkan belalainya, menyuruh Bora menjauh dari tempat ini.

       “Tidak! Aku tidak mau!” balas Bora keras kepala. Kenapa ibunya masih bisa berkata seperti itu? Padahal jelas-jelas ia dalam keadaan terjebak api?

       “Cepat pergi, Bora!”

       “Bora! Ayo pergi!” Tiba-tiba saja Pipin datang ke tempatnya dan langsung menarik belalai Bora.

       “Tidak mau!” Bora menyentak belalai Pipin keras. “Ibu! Aku akan menyelamatkanmu!”

       “Jangan, Bora!” bentak Pipin

       Kraaak! Braaak!

       “IBU!! IBU!!” Bora terus meraung memanggil ibunya. Pohon yang sedang terbakar itu jatuh dan kemudian menimpa tubuh payah ibu Bora.

       “Ayo, Bora, kita harus pergi,” lirih Pipin sambil menarik Bora.

Sekali lagi Bora menoleh ke belakang saat dirinya sudah cukup jauh dari sarangnya. Tidak ada lagi hutan hijau dengan tumbuhan rindang di sekitarnya. Hutan hijau yang selalu ia kagumi sudah berubah menjadi hutan merah yang sangat panas.

Tokoh utama dalam cerpen tersebut adalah?

Ibu

Dodo

Bora

Pipin

6.

MULTIPLE CHOICE QUESTION

5 mins • 1 pt

Hutan Merah

Matahari bersinar terik di Lampung. Sinarnya terhalang rimbunnya pepohonan, sehingga hanya menyisakan berkas tipis. Burung-burung berkicau seolah sedang menyanyikan lagu untuk alam. Bunyi riak jernih sungai beradu dengan batu kali berpadu dengan sahutan dari beberapa penghuni hutan yang lainnya. Ya, inilah tempat tinggal Bora, si anak gajah Lampung yang sekarang tengah asyik bermain bersama teman-temannya di sebuah sungai.

       Ketika Bora menyemprotkan air ke arah Dodo—anak gajah lainnya—dengan belalainya, ia pun memekik nyaring. Sampai akhirnya, kegembiraan mereka terpecah oleh bunyi bising dari sebelah utara hutan. Bunyi bising itu bercampur dengan deru sesuatu yang sama sekali tidak Bora kenal.

       “Hei, lihat itu!”

       Semua serentak menghentikan kegiatan mereka dan menengok ke langit yang ditunjuk Dodo. Asap hitam tebal yang membumbung tinggi dari sana. Asap itu semakin tebal dan terus menebal. Itu merupakan fenomena aneh yang baru pertama kali mereka saksikan. Selama ini yang mereka tahu, langit selalu berwarna biru cerah dengan awan putih berarakan.

Keheningan hutan itu kemudian pecah saat Teo tiba-tiba saja datang sambil memekik nyaring, “Hutan terbakar! Hutan terbakar!”

       Semua ikut memekik ketakutan. Hutan terbakar! Tempat tinggal mereka terbakar!

       “Bora! Apa yang kau lakukan!? Cepat pergi!” Pipin berteriak sambil menarik belalai Bora dengan belalainya..

       Suasana hutan yang tadinya damai tenteram, seketika menjadi neraka bagi semua hewan. Asap hitam pekat yang mulai menyelimuti seluruh hutan ini. Suhu udara mulai panas, membuat para hewan makin berteriak nyaring.

       Bora panik bukan main. Sambil mengikuti langkah Pipin, matanya bergerak ke sana-ke mari, mencari sosok ibunya.

       “Pipin! Di mana ibuku?” tanya Bora.

       “I-ibu … ibumu ….” Pipin tidak bisa menjawab karena sama-sama tidak tahu di mana ibu Bora berada.

       “Aku harus kembali ke sarang!” Bora melepaskan belalainya dari belalai Pipin, lalu berbalik untuk kembali ke sarangnya.

       Namun, sebelum Bora melancarkan niatnya itu, Pipin sudah menarik kembali belalainya. “Ibumu pasti sudah berada di depan. Bersama gajah dewasa lainnya.”

       Bora menghiraukan ucapan Pipin, lalu kembali meloloskan belalainya dan berlari sekuat mungkin menuju sarangnya.

       “Bora!” Pipin berteriak di belakangnya.

       Bora sampai di dekat sarangnya berada dengan napas terengah. Ia langsung membelalakkan mata begitu melihat sosok ibunya sedang bersusah payah keluar dari sarang. Api sudah menjalar di setiap pohon di dekat sarangnya itu.

       “Ibu!” teriak Bora sekuat tenaga.

       “Sedang apa kamu?! Cepat pergi dari sini!” teriak ibu Bora sambil menggerakkan belalainya, menyuruh Bora menjauh dari tempat ini.

       “Tidak! Aku tidak mau!” balas Bora keras kepala. Kenapa ibunya masih bisa berkata seperti itu? Padahal jelas-jelas ia dalam keadaan terjebak api?

       “Cepat pergi, Bora!”

       “Bora! Ayo pergi!” Tiba-tiba saja Pipin datang ke tempatnya dan langsung menarik belalai Bora.

       “Tidak mau!” Bora menyentak belalai Pipin keras. “Ibu! Aku akan menyelamatkanmu!”

       “Jangan, Bora!” bentak Pipin

       Kraaak! Braaak!

       “IBU!! IBU!!” Bora terus meraung memanggil ibunya. Pohon yang sedang terbakar itu jatuh dan kemudian menimpa tubuh payah ibu Bora.

       “Ayo, Bora, kita harus pergi,” lirih Pipin sambil menarik Bora.

Sekali lagi Bora menoleh ke belakang saat dirinya sudah cukup jauh dari sarangnya. Tidak ada lagi hutan hijau dengan tumbuhan rindang di sekitarnya. Hutan hijau yang selalu ia kagumi sudah berubah menjadi hutan merah yang sangat panas.

Latar tempat dalam cerpen tersebut adalah?

Hutan

Rumah

Kebun binatang

Sungai

7.

MULTIPLE CHOICE QUESTION

5 mins • 1 pt

Hutan Merah

Matahari bersinar terik di Lampung. Sinarnya terhalang rimbunnya pepohonan, sehingga hanya menyisakan berkas tipis. Burung-burung berkicau seolah sedang menyanyikan lagu untuk alam. Bunyi riak jernih sungai beradu dengan batu kali berpadu dengan sahutan dari beberapa penghuni hutan yang lainnya. Ya, inilah tempat tinggal Bora, si anak gajah Lampung yang sekarang tengah asyik bermain bersama teman-temannya di sebuah sungai.

       Ketika Bora menyemprotkan air ke arah Dodo—anak gajah lainnya—dengan belalainya, ia pun memekik nyaring. Sampai akhirnya, kegembiraan mereka terpecah oleh bunyi bising dari sebelah utara hutan. Bunyi bising itu bercampur dengan deru sesuatu yang sama sekali tidak Bora kenal.

       “Hei, lihat itu!”

       Semua serentak menghentikan kegiatan mereka dan menengok ke langit yang ditunjuk Dodo. Asap hitam tebal yang membumbung tinggi dari sana. Asap itu semakin tebal dan terus menebal. Itu merupakan fenomena aneh yang baru pertama kali mereka saksikan. Selama ini yang mereka tahu, langit selalu berwarna biru cerah dengan awan putih berarakan.

Keheningan hutan itu kemudian pecah saat Teo tiba-tiba saja datang sambil memekik nyaring, “Hutan terbakar! Hutan terbakar!”

       Semua ikut memekik ketakutan. Hutan terbakar! Tempat tinggal mereka terbakar!

       “Bora! Apa yang kau lakukan!? Cepat pergi!” Pipin berteriak sambil menarik belalai Bora dengan belalainya..

       Suasana hutan yang tadinya damai tenteram, seketika menjadi neraka bagi semua hewan. Asap hitam pekat yang mulai menyelimuti seluruh hutan ini. Suhu udara mulai panas, membuat para hewan makin berteriak nyaring.

       Bora panik bukan main. Sambil mengikuti langkah Pipin, matanya bergerak ke sana-ke mari, mencari sosok ibunya.

       “Pipin! Di mana ibuku?” tanya Bora.

       “I-ibu … ibumu ….” Pipin tidak bisa menjawab karena sama-sama tidak tahu di mana ibu Bora berada.

       “Aku harus kembali ke sarang!” Bora melepaskan belalainya dari belalai Pipin, lalu berbalik untuk kembali ke sarangnya.

       Namun, sebelum Bora melancarkan niatnya itu, Pipin sudah menarik kembali belalainya. “Ibumu pasti sudah berada di depan. Bersama gajah dewasa lainnya.”

       Bora menghiraukan ucapan Pipin, lalu kembali meloloskan belalainya dan berlari sekuat mungkin menuju sarangnya.

       “Bora!” Pipin berteriak di belakangnya.

       Bora sampai di dekat sarangnya berada dengan napas terengah. Ia langsung membelalakkan mata begitu melihat sosok ibunya sedang bersusah payah keluar dari sarang. Api sudah menjalar di setiap pohon di dekat sarangnya itu.

       “Ibu!” teriak Bora sekuat tenaga.

       “Sedang apa kamu?! Cepat pergi dari sini!” teriak ibu Bora sambil menggerakkan belalainya, menyuruh Bora menjauh dari tempat ini.

       “Tidak! Aku tidak mau!” balas Bora keras kepala. Kenapa ibunya masih bisa berkata seperti itu? Padahal jelas-jelas ia dalam keadaan terjebak api?

       “Cepat pergi, Bora!”

       “Bora! Ayo pergi!” Tiba-tiba saja Pipin datang ke tempatnya dan langsung menarik belalai Bora.

       “Tidak mau!” Bora menyentak belalai Pipin keras. “Ibu! Aku akan menyelamatkanmu!”

       “Jangan, Bora!” bentak Pipin

       Kraaak! Braaak!

       “IBU!! IBU!!” Bora terus meraung memanggil ibunya. Pohon yang sedang terbakar itu jatuh dan kemudian menimpa tubuh payah ibu Bora.

       “Ayo, Bora, kita harus pergi,” lirih Pipin sambil menarik Bora.

Sekali lagi Bora menoleh ke belakang saat dirinya sudah cukup jauh dari sarangnya. Tidak ada lagi hutan hijau dengan tumbuhan rindang di sekitarnya. Hutan hijau yang selalu ia kagumi sudah berubah menjadi hutan merah yang sangat panas.

Latar waktu dalam cerpen tersebut adalah?

Malam hari

Siang hari

Bulan lalu

Kemarin sore

Create a free account and access millions of resources

Create resources
Host any resource
Get auto-graded reports
or continue with
Microsoft
Apple
Others
By signing up, you agree to our Terms of Service & Privacy Policy
Already have an account?